Seniman legendaris asal Betawi, Benyamin Sueb (1939-1995) selama hidupnya sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra. Ia berjasa pula dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong dan menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Benyamin sangat dikenal di Malaysia. Bahkan, dia juga sempat manggung di Moskwa, Rusia.
Lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939, sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah, bakatnya sudah terlihat sejak masih anak-anak. Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek. Dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda.
Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng. Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan “alat musik” itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.
Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu. Duetnya bersama Ida Royani menjadi duet paling populer pada saat itu dan lagu-lagu yang mereka bawakan meraih sukses besar.
Lagu-lagunya tidak hanya digemari oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Diantaranya lagu Kompor Mleduk, Tukang Garem, Bang Puase, dan Nyai Dasimah, adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran. Apalagi setelah berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan. Ketika manggung di seluruh Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Irian, kebanyakan penonton tidak mengerti bahasa Betawi. Tetapi, mereka tertawa terpingkal-pingkal melihat Benyamin di atas panggung.
Di samping pop dan gambang kromong, Benyamin juga merambah jenis musik yang sedang mewabah pada tahun 1970-an, seperti blues, rock, hustle, dan disko. Benyamin juga tidak lupa pada keroncong dan seriosa, sebagaimana Blues Kejepit Pintu, Seriosa, Kroncong Kompeni, Stambul Nona Manis, atau Stambul Kelapa Puan.
Lagu-lagu Benyamin dan Ida Royani merupakan gambaran nyata kehidupan masyarakat Betawi. Benyamin juga melancarkan protes lewat lagu seperti lagu Digusur. Dalam lagunya Benyamin menggunakan bahasa khas Betawi yang sarat humor sehingga Digusur justru menimbulkan senyum Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Lagu lain yang mengkritik pemerintah, Pungli, justru memperoleh penghargaan dari Kopkamtib. Lagu itu dianggap menunjang program Operasi Tertib yang sedang digalakkan pemerintah tahun 1977.
Selain di dunia musik Benyamin sukses juga di dunia film. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Berduri serta Si Doel Anak Betawi (1976) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya. Dalam Intan Berduri, Benyamin mendapatkan piala Citra sebagai Pemeran Utama Terbaik. Benyamin juga main di sinetron/film televisi seperti Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan.
Benyamin meninggal dunia pada 5 September 1995 akibat serangan jantung setelah koma beberapa hari seusai main sepak bola. Benyamin dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Ini dilakukan sesuai wasiat yang dituliskannya, agar dia dimakamkan bersebelahan dengan makam Bing Slamet yang dia anggap sebagai guru, teman, dan sosok yang sangat memengaruhi hidupnya.
Biografi Nike Ardilla. Dulu ia dikenal sebagai Ratu Rock Indonesia semasa hidupnya. Wanita yang bernama lengkap Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi atau yang dikenal dengan nama Nike Ardilla ini lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Desember 1975 dari pasangan R. Eddy Kusnadi dan Nining Ningsihrat. Sejak kecil sudah mengawali karier dengan mengikuti berbagai festival menyanyi di Bandung, sampai kemudian bakatnya ditemukan oleh produser musik Deddy Dores. Karier musiknya di dunia hiburan pun dimulai. Tahun 1987, Ibunya memboyong Nike Ardilla ke Himpunan Artis Penyanyi Musisi Indonesia (HAPMI) asuhan Djadjat Paramor. Di sana ia bertemu dengan Deni Kantong, guru menyanyinya, dan Deni Sabrie yang kemudian menjadi manajernya. Menjadi Penyanyi Terkenal Deni Kantong dan Sabrie memperkenalkannya pada Deddy Dores. Deddy membuatkan beberapa lagu untuk album pertama Nike yang bertajuk Seberkas Sinar yang terjual lebih dari 500.000 ribu kopi. Sebelumnya Deddy Dores juga sempat menyatukan Nike dengan dua anak didik Deddy dan Deni bernama Deni Angels bersama Cut Irna dan Lady Avisha. Tahun berikutnya Nike merilis album keduanya yang bertajuk Bintang Kehidupan yang mendapatkan sambutan luar biasa, dan terjual dengan angka yang fantastis, yaitu 2 juta unit Selanjutnya Nike merilis album-album yang menjadi best seller. Album rekaman terakhir Nike Ardilla disaat hidupnya yang berjudul Sandiwara Cinta terjual sampai menembus angka 3 Juta kopi dan lima juta copy season. Karier Nike Ardilla dalam dunia seni peran juga berjalan mulus. Nike bermain film Kasmaran yang dibintangi juga oleh Ida Iasya dan Slamet Rahardjo, 1987. Dan juga menjadi pemeran utama di Film Ricky Nakalnya Anak Muda bersama almarhum Ryan Hidayat pada tahun 1990 dan terus melahirkan film-film box office sepanjang periode akhir 80-an dan awal 90-an. Nike Ardilla juga sukses dalam beberapa sinetron. Selain sebagai penyanyi dan bintang film, Nike Ardilla juga mengawali kariernya sebagai seorang model. Terbukti dengan menjadi pemenang Favorit pada ajang GADIS SAMPUL 1990.
Semenjak album perdana di rilis dipenghujung 1989. Nama Nike Ardilla masuk kejajaran artis papan atas dan diperhitungkan. Deni Sabri Management memang mempersiapkan Nike Ardilla untuk menjadi artis multi talenta, awal pembentukan Nike Ardilla menjadi artis memang disiapkan untuk menggantikan Cut Irna yang terkenal sebagai model, Mariam Belina bintang film papan atas, dan diva rock ’80-an Nicky Astria. Jadi menurut Deni, Nike adalah perpaduan dari Nicky Astria, Meriam Belina, dan Cut Irna. Bahkan sebelum album perdana sukses di pasaran, Nike sudah dilibatkan dalam produksi beberapa film box office di jamannya dan kegiatan yang berhubungan dengan modeling dan show di daerah-daerah dari aceh sampai papua. 1990 adalah awal dominasi Nike Ardilla di dunia entertainment sehubungan dengan sukses secara komersil album Bintang Kehidupan yang terjual 2.000.000 units. Dilanjutkan dengan terpilihnya Nike Ardilla sabagai Gadis Sampul Favorit di ajang model yang sangat bergengsi. Konser jadwal tiap tahun penuh, tampil di acara-acara selebriti dan awards show, membintangi puluhan film box office, bintang iklan, cover majalah, dll.
Penghargaan Nike Ardilla Bahkan ketika artis film banyak terjun ke sinetron, nama Nike Ardilla masih menjadi jaminan rating tinggi untuk sinetron yang banyak ditonton pemirsa. Mungkin karier Nike Ardilla secara harfiah terbilang singkat 1989-1995, hanya 6 tahun. Tapi dalam waktu singkat tersebut kariernya begitu cemerlang. Dominasi di industri musik membuat banyak penyanyi yang mencoba mengikuti jejak kariernya terpaksa hanya bisa menjadi underdog dan Nike tetaplah di depan. Penghargaan di industri musik untuk kategori album terlaris selalu dimenangkannya, seorang Nicky Astria dan Anggun pun tidak bisa berkutik dibuatnya. Bahkan album terlaris sepanjang sejarah bermusik Anggun, Tua-tua keladi dikalahkan di ajang BASF Awards 1990 kategori Best Selling Album yang dimenangkan Nike Ardilla untuk album Bintang Kehidupan.
Tidak hanya sampai di musik saja dimana konser dan album Nike laris manis, industri film tanah air pun tidak mau ketinggalan menggunakan Nike Ardilla sebagai pemeran utama di Film-filmnya. Puluhan film box office dihasilkan Nike, bahkan film daerah paling laris kabayan yang di bintangi Paramitha Rusadi sebagai tokoh wanita utamanya digantikan oleh Nike Ardilla bukti dominasi dan betapa popularnya Nike. Bahkan di sinetron dengan rating tinggi arahan sutrada Putu Wijaya, Mitha tampil hanya sebagai bintang tamu di 2 episode sinetron berjudul NONE dimana Nike adalah pemeran utamanya. Puluhan iklan pun telah dihasilkan Nike Ardilla. Melihat tersebut maka pantaslah dominasi Nike Ardilla tersebut tidak terbantahkan.
Lahir di Bandung, Jawa Barat, Nicky Astria mulai bernyanyi pada tahun 1975 yang memiliki kualitas suara yang khas, hal ini dibuktikan dengan kesuksesan yang di raihnya pada tahun 1980. Nicky Astria juga memiliki julukan penyanyi rock perempuan terbaik di masanya. Bukan hanya suanya yang khas, lagunyapun telah terdaftar sebagai lagu terbaik sepanjang masa oleh Rolling Stone Indonesia pada tahun 2009.
Ia lahir pada 18 Oktober 1967 di Bandung. Memiliki ayah yang bernama Tatang Kosasih Wirahadimaja, seorang guru sekolah, dan ibunya yang bernama Andrina Heryati, musisi tradisional. Dia adalah putri tunggal pasangan tersebut , dan anak keempat dari lima bersaudara. Ia dikenal sebagai gadis yang tomboy di masa mudanya. Pada tahun 1972, ayahnya dikirim oleh Indonesia di kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia.
Ia bernyanyi di depan umum untuk pertama kalinya pada upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1975. Ketika ini diterima dengan baik, ia mulai menyanyi di acara-acara resmi yang berbeda, atas permintaan ayahnya. Keluarga kembali ke Bandung pada tahun 1975. Sekembalinya dari Malaysia ia terus melakukan pelatihan vokal, dan pada akhir SD ia sudah berkompetisi pada ajang Pop Anak Menyanyi Festival. Sementara pada saat duduk di bangku SMP ia berlaga di Teenage Pop Singing Festival. Meskipun ia dimaksudkan untuk menjadi seorang penyanyi, ayahnya ingin dia untuk melakukan pekerjaan lain.
Pada tahun 1981, ayaknya yakni bapak Wirahadimaja meninggal dunia, kematian ayahnya yang meninggalkan keluarganya dalah kondisi finansial yang serba pas-pasan menyebabkan ia pindah ke rumah neneknya. Hal ini jugalah yang membuat Nicky semakin menggebu untuk menjadi penyanyi papan atas.
Pada tahun 1984, ia diminta untuk menandatangani AMK Rekaman yang menjadi lebih komersial, lalu dia mengadopsi nama panggung Nicky Astria. Yang pengerjaannya segera dirilis. Dia kemudian diperkenalkan ke beberapa tokoh musik terkemuka, termasuk gitaris lagu Ian Antono, yang menjabat sebagai produser dan membantunya memajukan karirnya.
Album kedua Astria, Jarum Neraka , dirilis pada tahun 1985. Pada album ini Nicky menampilkan rasa baru dan terjual lebih dari 350.000 eksemplar, menjadikannya album rock Indonesia pertama. Hal ini diikuti juga oleh Album ketiga ini membawa kesuksesan. Keberhasilannya ini menyebabkan banyak rocker wanita baru memasuki industri.
Setiap tahun 1985-1987, Ia memenangkan BASF Award untuk Best Female Singer. Pada akhir 1980-an Ia juga melakukan tur dengan rocker Anggun, pada saat ini mereka sering berbagi kamar meskipun pers sering menggambarkan mereka sebagai saingan.
Pada tahun 1999, Astria direkam berduet dengan Chrisye, berjudul Khayalku, untuk versi ulang dari 1977 album Badai Pasti Berlalu. Pada tahun 2001, dia adalah salah satu dari empat musisi yang mendirikan Sekolah Bandung Higher Musical Learning (Perguruan Tinggi Musik Bandung), yang mengajarkan musik dan bisnis aspek di industri musik.
Iwa K terjun ke dunia musik sejak usia remaja. Di era 80-an di mana musik rock merajai belantika musik tanah air, pria yang memiliki nama asli Iwa Kusuma ini justru melalang buana dengan musik rapnya.
Kecintaannya terhadap musik asal Amerika Serikat ini berawal dari hobi bermain breakdance. Ia membangun grup rap sejak kelas 1 SMA. Pada tahun 1989, Iwa bersama grup rap Guest Band mendapat kesempatan untuk unjuk gigi di studio rekaman.
Selain itu, pria kelahiran Bandung 25 Oktober 1970 ini juga berkolaborasi dengan Melly Manuhulu dalam album “Beatify” yang rilis tahun 1991 di Jepang. Bersama Guest Band, Iwa juga merilis album “Ta’kan” pada tahun yang sama.
Iwa K akhirnya memulai karier solonya lewat album ”Kuingin Kembali” pada tahun 1993. Album ini juga dirilis di Jepang di bawah naungan label Bomba Records. Single dalam album tersebut berjudul, “Ku Ingin Kembali”. Iwa K dinilai sukses dalam debut solo pertamanya saat usianya menginjak 23 tahun.
Selang setahun, Iwa K kembali merilis album “Topeng”. Dalam album ini, Iwa K mengangkat tema sosial. Single yang terkenal dalam album ini yaitu, “Bebas”. Single tersebut juga berhasil meraih anugerah “150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa” oleh majalah Rolling Stone. Lewat album ini jugalah nama Iwa K semakin melejit.
Dua tahun kemudian, Iwa K kembali menelurkan album barunya bertajuk, “Kramotak!”. Di album inilah Iwa K menggunakan logo baru yang menjadi ciri khasnya. Musik di album ini juga cenderung lebih keras dibandingkan album-album sebelumnya.
Kesuksesan kembali menyertainya pada album keempat bertajuk “Mesin Imajinasi”. Sebelum lama menghilang, Iwa K sempat menelurkan album, “Vini Vidi Vunky” pada tahun 2002 langsung di bawah label Guest Studio dan tidak lagi bekerja sama dengan Musica Studio’s.
Selain jago nge-rap, Iwa K juga menjajal dunia presenter dan akting. Ia memandu acara olahraga di beberapa stasiun swasta. Bahkan, Iwa K dinobatkan sebagai presenter olahraga terbaik oleh Panasonic Award selama 3 musim berturut-turut.
Sukses sebagai pembawa acara tv, Iwa K kembali berkreasi. Ia melakukan eksperimen dengan mencampurkan musik dangdut dengan rap bersama istri pertamanya, Selfi Nafilah KDI.
Pada tahun 2009, mereka berdua membuat grup musik dengan konsep dangdut rap bernama Yin Yang. Yin Yang sempat merilis 1 album “Yang Tak Terpisahkan”. Tapi sayangnya, kolaborasi Iwa K dan istri tidak berlangsung lama akibat perceraian mereka.
Aksi nyentriknya di atas panggung musik, Iwa K diminta terlibat dalam dunia akting. Ia membintangi 3 film layar lebar di antaranya, “Kuldesak”, “Tak Sempurna” dan “Coboy Junior the Movie” yang rilis pada tahun 2013.
Setelah lama absen, Iwa K merilis mini album “Living in the Fast Lane” di tahun 2014.Lagu “Living in the Fast Lane” juga dijadikan theme shong National Basketball League (NBL) Indonesia.
Pada tahun 2017, Iwa K kembali menggemparkan media. Ia ditangkap karena ketahuan membawa ganja di bandara Soekarno Hatta. Iwa K pun berceloteh dirinya telah mengonsumsi ganja sejak 2 bulan sebelum penangkapan. (AC/DN)
Profil dan Biografi Melly Goeslaw – Sang Ratu Soundtrack. Nama lengkapnya adalah Mellyana Goeslaw Hoed, lebih akrab dengan panggilan panggung Melly Goeslaw lahir 7 Januari 1974, Putri tunggal dari pasangan Ersi Sukaesih dan (Alm) Melky Goeslaw serta istri dari Anto Hoed ini telah sukses menciptakan banyak lagu, diantaranya lagu berjudul “Jika” di mana Melly Goeslaw berduet bersama Ari Lasso, kemudian disusul dengan kesuksesannya menciptakan lagu “Menghitung Hari” yang dibawakan oleh Krisdayanti serta lagu “Hati Yang Terpilih” yang dibawakan oleh Rossa, dan langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Selain itu bersama suaminya dia mendirikan grup mussik Potret. Melly menganut agama Islam setelah bernikah dengan Anto pada tahun 1995 silam. Kini mereka dikaruniai dua orang anak lelaki. Anak pertama mereka Anakku Lelaki Hoed (Ale) lahir pada 22 Agustus 2000, disusul anak kedua mereka Pria Bernama Hoed (Abe) yang lahir 9 Mei 2003. Selain telah mengorbitkan banyak penyanyi Melly Goeslaw adalah seorang komposer yang sangat hebat, dia mampu menciptakan lagu – lagu yang tidak kalah hebat, seperti dialbum solonya yang pertama “melly” , Melly mengajak Ari Lasso untuk berduet dengannya, dan lagu tersebut berjudul “Jika”, lagu itu sukses dipasaran.
setelah 3 tahun fakum dihiburan musik tanah air, Melly Goeslaw mendapat tawaran soundtrack dengan didampingi suaminya, Anto Hoed. Soundtrack pertamanya “Ada Apa Dengan Cinta” yang sudah mendapat sukses besar di Indonesia, dan soundtracknyapun juga terkenal di berbagai negara salah satunya Malaysia, seperti lagu “Ku Bahagia”, “Bimbang”, “Ada Apa Dengan Cinta ?”, Dll,. Setelah kesuksesannya yang besar, Melly Goeslaw mendapat soundtrack lagi yang tidak kalah suksesnya, “Eiffel … I’m In Love”, Melly Goeslaw mampu mengimbangi soundtrack dengan filmnya dengan lagu hits seperti “Pujaanku”, “Tak Tahan Lagi”, Dll,. Dan setelah 5 tahun tidak membuat album solo (2004), Melly Goeslaw mengeluarkan album solonya yang ke-2 yaitu berjudul “Intuisi”, bukan Melly Goeslaw namanya kalau tak ada soundtrack, dialbum itu ada 3 lagu yang dijadikan soundtrack dan single dari album itu juga, seperti “Tentang Dia”, “Cinta”, dan “Biarkan saja
Belum lama merilis album solonya yang ke-2, Melly mendapat soundtrack lagi, yang berjudul “Apa Artinya Cinta ?”, di soundtrack ini Melly mengajak teman duet lamanya yaitu Ari lasso untuk menjadi teman soundtrack dalam single yang pertama yaitu lagu yang berjudul “Apa Artinya Cinta ?”. Dan single keduanya juga tak kalah sukses dengan single pertamanya yaitu “I’m Fallin’ In Love”. Ditahun berikutnya Melly Goslaw mendapat soundtrack lagi, yaitu film yang sangat fenomenal, “My Heart”. Tapi sayangnya Melly Goeslaw tidak ikut bernyanyi, Melly Goeslaw Dan Anto Hoed hanya menjadi konmposer/Pencipta semua lagu yang ada didalamnya, dan singlenya sangat sukses dipasaran yang berjudul “My Heart”.
Ditahun berikutnya Melly Goeslaw membuat album solonya yang Ke-3 yaitu berjudul “Mindnsoul”, dan merupakan album kumpulan lagu – lagu Melly dialbum sebelumnya, dan album ini mengeluarkan 3 lagu baru dan 3 single yang sukses dipasaran seperti lagu “Let’s Dance Together” , “Gantung” , dan “Risau”. Tak lama kemudian Melly Goeslaw dan suaminya mendapatkan soundtrack yang berjudul “The Butterfly”, singlenya sukses namun sayangnya Melly Goeslaw hanya mengeluarkan satu single saja yaitu, “Butterfly”.
1 tahun tanpa soundtrack Melly Goelaw mendapatkan soundtrack lagi yang berjudul “Ketika Cinta Bertasbih”, film itu sangat fenomenal dan Melly mengeluarkan single “Ketika Cinta Bertasbih”, “Tuhan Beri aku Cinta” dinyanyikan oleh Ayushita, Dan “Menanti Cinta” dinyanyikan oleh Krisdayanti. Ditahun berikutnya Melly Goeslaw mendapatkan 3 Soundtrack sekaligus yaitu “Heart 2 Heart”, “Kabayan Jadi Milyuner”, Dan “Love Story”. Semenjak itu Melly Goeslaw sering disebut dengan julukan “”Si Ratu Soundtrack”” karna telah menggarap kurang lebih 10 Soundtrack dengan suaminya, Anto Hoed.
Biografi Koes Plus. Nama Koes Plus adalah grup musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969 sebagai kelanjutan dari grup Koes Bersaudara. Grup musik yang terkenal pada dasawarsa 1970-an ini sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock ‘n roll di Indonesia. Sampai sekarang, grup musik ini kadang masih tampil di pentas musik membawakan lagu-lagu lama mereka, walaupun hanya tinggal dua anggotanya (Yon dan Murry) yang aktif. Lagu-lagu mereka banyak dibawakan oleh pemusik lain dengan aransemen baru. Sebagai contoh, Lex’s Trio membuat album yang khusus menyanyikan ulang lagu-lagu Koes Plus, Cintamu T’lah Berlalu yang dinyanyikan ulang oleh Chrisye, serta Manis dan Sayang yang dibawakan oleh Kahitna. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1969, sebagai kelanjutan dari kelompok “Koes Bersaudara”. Grup yang berasal dari Tuban ini menjadi pelopor musik pop dan rock ‘n roll, bahkan pernah dipenjara karena musiknya yang dianggap mewakili aliran politik kapitalis. Di saat itu sedang garang-garangnya gerakan anti kapitalis di Indonesia. Pada Kamis 1 Juli 1965, sepasukan tentara dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap kakak beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di LP Glodok, kemudian Nomo Koeswoyo atas kesadaran sendiri, datang menyusul. Adik Alm Tony Koeswoyo itu rupanya memilih “mangan ora mangan kumpul” ketimbang berpisah dari saudara-saudara tercinta. Adapun kesalahan mereka adalah karena selalu memainkan lagu – lagu The Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu. Sebuah tuduhan tanpa dasar hukum dan cenderung mengada ada, mereka dianggap memainkan musik “ngak ngek ngok” istilah Pemerintahan berkuasa saat itu, musik yg cenderung imperialisme pro barat.
Dari penjara justru menghasilkan lagu-lagu yang sampai saat sekarang tetap menggetarkan, “Didalam Bui”, “jadikan aku dombamu”, “to the so called the guilties”, dan “balada kamar 15”. 29 September 1965, sehari sebelum meletus G 30 S-PKI, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.belakangan setelah Peristiwa itu berlalu,Koes Bersaudara yang masih hidup dan menginjak usia tua melakukan testimoni di depan pemirsa acara talkshow KICK ANDY (Metro TV)pada akhir 2008 bahwa di balik penangkapan mereka sebenarnya pemerintahan Soekarno menugaskan mereka dalam sebuah operasi Kontra Intelejen guna mendukung gerakan Ganyang Malaysia.
Dari kelompok Koes Bersaudara ini lahir lagu-lagu yang sangat populer seperti “Bis Sekolah”,“ Di Dalam Bui”, “Telaga Sunyi”, “Laguku Sendiri” dan masih banyak lagi. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan Murry sebagai drummer. Walaupun penggantian ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personalnya yakni Yok yang keberatan dengan orang luar. Nama Bersaudara seterusnya diganti dengan Plus, artinya plus orang luar:
Sebenarnya lagu-lagu Koes Bersaudara lebih bagus dari segi harmonisasi ( seperti lagu “Telaga Sunyi”, “Dewi Rindu” atau “Bis Sekolah”) dibanding lagu-lagu Koes Plus. Saat itu Nomo, selain bermusik juga mempunya pekerjaan sampingan. Sementara Tonny menghendaki totalitas dalam bermusik yang membuat Nomo harus memilih. Akhirnya Koes Bersaudara harus berubah. Kelompok Koes Plus dimotori oleh almarhum Tonny Koeswoyo (anggota tertua dari keluarga Koeswoyo). Koes Plus dan Koes Bersaudara harus dicatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia. Sulit dibayangkan sejarah musik pop kita tanpa kehadiran Koes Bersaudara dan Koes Plus.
Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan Koes Bersaudara. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus dengan album serial volume 1, 2 dan seterusnya. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu.
Kemudian Murry sempat ngambek dan pergi ke Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik gula sekalian main band bersama Gombloh dalam grup musik Lemon Trees. Tonny yang kemudian menyusul Murry untuk diajak kembali ke Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”, “Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mendominasi musik Indonesia waktu itu.
Dengan adanya tuntutan dari produser perusahaan rekaman maka group-group lain yang “seangkatan” seperti Favourites, Panbers, Mercy’s, D’Lloyd menjadikan Koes Plus sebagai “kiblat”, sehingga group-group ini selalu meniru apa yang dilakukan Koes Plus, pembuatan album di luar pop Indonesia, seperti pop melayu dan pop jawa menjadi trend group-group lain setelah Koes Plus mengawalinya. “Seandainya kelompok ini lahir di Inggris atau AS bukan tidak mungkin akan menggeser popularitas Beatles” “Lagu Nusantara I” (Volume 5), “Oh Kasihku” (Volume 6), “Mari-Mari” (Volume 7), “Diana” dan “Kolam Susu” ( Volume 8) merajai musik pop waktu itu. Puncak kejayaan Koes Plus terjadi ketika mereka mengeluarkan album Volume 9 dengan lagu yang sangat terkenal “Muda-Mudi” (yang diciptakan Koeswoyo, bapak dari Tonny, Yon dan Yok).
Disusul lagu “Bujangan” dan “Kapan-Kapan” dari volume 10. Masih berlanjut dengan lagu “Nusantara V” dari album Volume 11 dan “Cinta Buta” dari album Volume 12. Bersamaan dengan itu Koes Plus juga mengeluarkan album pop Jawa dengan lagu yang dikenal dari tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, hinga anak-anak muda, yaitu “Tul Jaenak” dan “Ojo Nelongso”. Belum lagi lagu mereka yang berirama melayu seperti “Mengapa”, “Cinta Mulia” dan lagu keroncongnya yang berjudul “Penyanyi Tua”. Sayang sekali di setiap album yang mereka keluarkan tidak ada dokumentasi bulan dan tahun, sehingga susah melacak album tertentu dikeluarkan tahun berapa. Bahkan tidak ada juga kata-kata pengantar lainnya. Album mereka baru direkam secara teratur mulai volume VIII setelah ditandatangani kontrak dengan Remaco. Sebelumnya perusahaan yang merekam album-album mereka adalah “Dimita”.
Pada tahun 1972-1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik radio atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum. Tahun 1972 Koes Plus sempat menjadi band terbaik dalam Jambore Band di Senayan. Semua peserta menyanyikan lagu Barat berbahasa Inggris. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu “Derita” dan “Manis dan Sayang”.
Dari informasi yang dikirim seorang penggemar Koes Plus, ternyata prestasi Koes Plus memang luar biasa. Pada tahun 1974 Koes Plus mengeluarkan 22 album, yaitu terdiri dari album lagu-lagu baru dan album-album “the best” termasuk album-album instrumentalia, yang dibuat dari instrument asli Koes Plus atau rekaman “master” yang kemudian diisi oleh permainan saxophone Albert Sumlang, seorang pemain dari group the Mercy’s. Jadi rata-rata mereka mengeluarkan 2 album dalam satu bulan. Tahun 1975 ada 6 album. Kemudian tahun 1976 mereka mengeluarkan 10 album. Mungkin rekor ini pantas dicatat di dalam Guinness Book of Record. Dan hebatnya, lagu-lagu mereka bukan lagu ‘asal jadi’, tetapi memang hampir semua enak didengar. Bukti ini merupakan jawaban yang mujarab karena banyak yang mengkritik lagu-lagu Koes Plus cuma mengandalkan “tiga jurus”: kunci C-F-G.
Karena banyak jasanya dalam pengembangan musik, masyarakat memberikan tanda penghargaan terhadap prestasinya menjadi kelompok legendaris dengan diberikannya tanda penghargaan melalui “Legend Basf Award, tahun 1992.Prestasi yang dimiliki disamping masa pengabdiannya dibidang seni cukup lama, produk hasil ciptaan lagunya pun juga memadai karena sejak tahun 1960 sampai sekarang berhasil menciptakan 953 lagu yang terhimpun dalam 89 album. Prestasi hasil ciptaan lagu untuk periode kelompok Koes Bersaudara sebanyak 203 lagu (dalam 17 album),sedang untuk periode kelompok Koes Plus sebanyak 750 lagu dalam 72 album (Kompas,13 September 2001).
Salah satu anggota Koes Plus mengatakan bahwa mereka dibayar sangat mahal pada masa jayanya. Yon mengungkapkan bahwa pada tahun 1975 mereka manggung di Semarang. “Waktu itu pada tahun 1975, kami telah dibayar Rp 3 juta saat pentas di Semarang,” kenang dia. Padahal, saat itu harga sebuah mobil Corona tahun 1975 kira-kira Rp 3,750 juta. Bila dikurs saat ini bayaran tersebut kurang lebih sama dengan Rp 150 juta.(Suara Merdeka, 4 Mei 2001)
Waktu itu, Rp 3,5 juta sangat tinggi, mengingat mobil sedan baru Rp 3 juta. Jika dikurskan dengan nilai uang sekarang, jumlah itu sama dengan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta. Jumlah penonton melimpah ruah tidak seperti sekarang, kenang Yon. (Suara Merdeka, 23 Oktober 2001). Setelah itu popularitas Koes Plus mulai redup. Mungkin karena generasi sudah berganti dan selera musiknya berubah. Koes Plus vakum sementara dan Nomo masuk lagi menggantikan Murry, sekitar akhir 1976-an. Koes Bersaudara terbentuk lagi dan langsung ngetop dengan lagunya “Kembali” yang keluar tahun 1977. Murry bersama groupnya Murry’s Group juga cukup menggebrak dengan lagunya “Mamiku-papiku”. Tidak bertahan lama tahun 1978 kembali terbentuk Koes Plus. Lagu barunya, “Pilih Satu” juga langsung populer. Setelah itu keluar lagu “Cinta”, dengan aransemen orchestra, yang benar-benar berbeda dengan lagu Koes Plus yang lain. Kemudian populer juga album melayu mereka yang memuat lagu “Cubit-Cubitan” dan “Panah Asmara”. Tetapi Koes Plus generasi ini tidak lagi sepopuler sebelumnya. Walaupun, kalau disimak lagu-lagu yang lahir setelah 1978, masih banyak lagu mereka yang bagus.
Nasib Koes Plus kini sangat tragis. Seperti kata Yon suatu ketika bahwa Koes Plus hanya besar namanya tetapi tidak punya apa-apa. Ucapan ini memang pas untuk mewakili keadaan personel Koes Plus. Mereka tidak mendapatkan uang dari hasil penjualan kaset yang berisi lagu-lagu lama mereka. Tidak seperti para penyanyi/pemusik masa kini yang gaya hidupnya “wah” karena dari segi finansial pendapatannya sebagai penyanyi/pemusik cukup terjamin. Begitu juga bekas group-group tersohor seperti Beatles, atau Led Zeppelin, mereka hidup dengan enak hanya dari royalti kaset/VCD/CD/DVD yang mereka hasilkan. Sampai anak-anak dan istri mereka pun menikmati kelimpahan finansial ini. Koes Plus hanya dibayar sekali untuk setiap album yang dihasilkan. Tidak ada royalti, tidak ada tambahan fee untuk setiap CD/kaset yang terjual. Maka tidak heran ketika tahun 1992 Yon harus jualan batu akik untuk menghidupi rumah tangganya. Sementara kaset dan CD lagunya masih laris terjual di Indonesia. Sekarang pun di usianya yang ke-63 Yon dan kawan-kawan (Murry beberapa kali tidak tampil karena sakit) membawa nama Koes Plus harus manggung untuk mendapatkan uang. Dengan sisa-sisa suara dan kekuatannya mereka harus menjual suara dan tenaganya. Yon memang tidak merasakan ini sebagai beban. Dia bersyukur lagunya masih dicintai orang. Tetapi kita prihatin mendengar kabar seperti ini.
Almarhum Sujarwoto yang lebih populer dengan sapaan Gombloh merupakan anak ke-4 dari enam bersaudara pasangan suami-istri Slamet dan Tatoekah. Pak Slamet bekerja sebagai pedagang ayam di Pasar Genteng, Surabaya. Setiap hari Slamet dengan tekun menjual ayam-ayam potong di pasar tradisional dalam kota tersebut.
Hasil berjualan ayam cukup lumayan untuk membiayai hidup keluarga. Bagi Pak Slamet, keenam anaknya harus bisa sekolah, setinggi mungkin, agar kelak bisa menjadi manusia yang punya masa depan cerah.
“Bapak tidak ingin anak-anaknya punya pendidikan pas-pasan kayak beliau,” ujar Sujarwati, anak bungsu, yang paling dekat dengan almarhum Gombloh.
Alhamdulillah, semua anak Pak Slamet ternyata dikaruniai kemampuan inteligensia di atas rata-rata. Tak heran, mereka semua bisa menempuh pendidikan di sekolah favorit atau unggulan di Surabaya pada masa itu. SMA Kompleks, yang favorit itu, bisa ditembus anak-anak Pak Slamet dengan mudah.
Bagaimana dengan Sujarwoto alias Gombloh? “Wah, dia itu otaknya encer sekali,” tutur Sujarwati. Maka, bisa dipahami Gombloh masuk SMAN 5 Surabaya dan lulus dengan nilai bagus.
Lulus SMAN 5, darah seni Gombloh yang selama bertahun-tahun dipendam tak bisa dibendung lagi. Pria kelahiran 14 Juli 1948 di Jombang ini tampaknya lebih memilih menjadi manusia bebas ketimbang harus kuliah seperti tiga kakaknya. Tapi, menurut Sujarwati, sang ayah tetap ingin anaknya itu kuliah demi masa depannya di kemudian hari.
Asal tahu saja, profesi seniman (penyanyi, pelukis, penari) dulu masih dianggap aneh oleh masyarakat. Seniman identik dengan pengamen yang tak punya masa depan.
Apa boleh buat, Gombloh pun terpaksa mendaftar ke Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya yang bergengsi itu. Berbeda dengan remaja lain, Gombloh tidak pernah ikut bimbingan tes, latihan soal, atau belajar. “Gombloh kok disuruh belajar,” kata Sujarwati seraya tertawa kecil.
Menurut si bungsu ini, Gombloh hanya melihat buku sepintas kilas–karena terus diawasi oleh ayahnya–pada menjelang ujian masuk di ITS. Hasilnya, Gombloh ternyata lulus, diterima di kampus ITS. Pak Slamet tentu senang, karena ini berarti anak-anaknya masuk perguruan tinggi bergengsi (kakak-kakak Gombloh lebih dulu kuliah di Universitas Airlangga). Dan, seperti di SD hingga SMA dulu, Pak Slamet tetap mengawasi anak-anak belajar pada malam hari sebelum tidur.
“Semua harus belajar. Bapak sendiri baca cerita silat Kho Ping Hoo,” tutur Sujarwati yang kini tinggal di kawasan Tanjung Perak, Surabaya.
Namanya juga tak punya niat kuliah di ITS, ‘kenakalan’ Gombloh makin menjadi. Dia sering bermain sandiwara untuk mengelabui Pak Slamet, ayahnya, seakan-akan dia berangkat kuliah di ITS, Sukolilo. Ternyata, sekitar pukul 10:00 WIB Gombloh kembali lagi ke rumah, dan tidur. Ulah Gombloh ini akhirnya ketahuan setelah Pak Slamet mendapat kiriman surat dari ITS. Di situ disebutkan bahwa Gombloh sudah terlalu banyak bolos kuliah, sehingga dapat peringatan keras.
Di saat itulah Gombloh ‘menghilang’ ke Bali untuk mengarungi petualangan sebagai seniman. Disiplin ketat, kuliah teratur, dapat titel dan pekerjaan bagus… ternyata tidak cocok untuk jiwa seorang Gombloh. Ia harus drop out (DO) di ITS hanya dalam satu semester.
GOMBLOH akhirnya menemukan dunianya yang asyik: main musik, jadi seniman bebas. Nama dan kiprahnya mulai dikenal di mana-mana. Bagaimana reaksi sang ayah, Pak Slamet? Biasa-biasa saja.
“Bapak tetap ingin anaknya kuliah, agar masa depannya lebih baik. Seniman itu apalah,” kata Sujarwati.
Sementara itu, adik Gombloh bernama Sujari sudah lulus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, sesuai dengan keinginan orang tua. Masa, Gombloh tidak ingin mengikuti saudara-saudaranya yang sudah sukses? Tapi dunia kesenian sudah sedemikian merasuki jiwa Gombloh.
Rekaman demi rekaman, manggung dari hotel ke hotel, ngamen sana-sini, pun dilakoni Gombloh alias Sujarwoto. Hasilnya lumayan. Gombloh sudah bisa mencari uang sendiri kendati dalam beberapa kesempatan ia masih minta uang pada saudaranya.
Bukankah Gombloh sudah mendapat bayaran yang lumayan sebagai penyanyi? Menurut Sujarwati, kakak kandungnya ini termasuk orang yang royal, suka menolong siapa saja tanpa pamrih, sehingga uangnya cepat habis. Ulahnya sering kali menggelikan dan bikin saudara-saudaranya geleng kepala.
Suatu ketika, cerita Sujarwati, Gombloh tiba-tiba menelepon dari Kalimantan. “Saya sakit keras, diopname di rumah sakit. Tolong segera kirim uang, tapi tidak perlu ke Kalimantan,” kata si Gombloh.
Keluarga di Surabaya pun kalang-kabut. Mereka pun urunan mengirim uang ke Kalimantan. Eh, uang itu ternyata dipakai untuk membiayai teman-temannya ke Surabaya. “Dia ikut ke Surabaya karena memang nggak sakit,” Sujarwati mengenang.
Di balik ‘kenakalannya’, Gombloh sangat mengasihi orang tua, khususnya Bu Tatoekah, sang ibunda. Gombloh pernah mengatakan bahwa ia akan mengurus sang ibu sampai tua hingga meninggal dunia. Benar saja. Ketika albumnya meledak di pasaran, Bu Tatoekah sakit keras sehingga harus dirawat di rumah sakit. Gombloh menginstruksikan agar sang ibu dirawat di rumah sakit terbaik, kelas VIP.
“Ibu tidak boleh menderita. Saya yang tanggung semua biaya rumah sakit,” kata Gombloh.
Begitulah, dedikasi Gombloh untuk ibunya memang luar biasa, sampai Bu Tatoekah meninggal dunia.
GOMBLOH telah tiada, namun kenangan manis dan pahit tentang sang seniman tak akan pernah hilang. Dan, kenangan itu kian membekas karena belakangan karya-karya Gombloh yang legendaris itu membuat saudara mereka mendapat berbagai penghargaan. Tahun 2005 saja, Sujarwati diundang dua kali ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai wakil (ahli waris) Gombloh.
“Saya sangat terharu,” ujar Sujarwati. Karya-karya Gombloh pun beroleh royalti, dan itu bisa dinikmati oleh keluarganya.
“Bagi kami, royalti dari karya Mas Gombloh itu untuk diamalkan. Kalau ada keluarga yang paling membutuhkan, ya, dikasihkan ke dia,” kata Sujarwati.
KEBYAR-KEBYAR
Indonesia, merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatmu!
Indonesia, nada laguku, simfoni berteduh selaras dengan simfonimu Kebyar-kebyar pelangi jingga….
[Biarpun bumi berguncang kau tetap Indonesiaku. Andaikan matahari terbit dari barat, kau pun Indonesiaku. Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan aku darimu.]
YAH, Gombloh memang telah meninggalkan kita semua sejak 1988 lalu. Namun, almarhum mewarisi lagu ‘Kebyar-Kebyar’ sebagai pusaka berharga bukan hanya bagi warga Surabaya atau Jawa Timur, melainkan seluruh bangsa Indonesia.
Lagu ‘Kebyar-Kebyar’ belakangan bahkan dibanding-bandingkan dengan ‘Indonesia Raya’, national anthem karya WR Supratman, seniman pejuang yang dimakamkan di Surabaya. Ada yang bilang ‘Kebyar-Kebyar’ lebih heroik ketimbang ‘Indonesia Raya’.
Karena itu, tak berlebihan kalau musikus legendaris asal Surabaya itu menerima penghargaan ‘Nugraha Bhakti Musik Indonesia’ pada puncak Hari Musik Indonesia III di Jakarta, 30 Maret 2005. menurut Iga Mawarni, Humas Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), ada 10 musikus yang menerima penghargaan bergengsi itu.
Para penerima ‘Nugraha Bhakti Musik Indonesia’ pada 2005 itu adalah Gombloh (alm), A Malik BZ (tokoh musik Melayu yang tinggal di Kureksari, Waru, Sidoarjo), Ki Narto Sabdo (alm), Harry Roesli (alm), Pupuk Norobe (penemu sasando), Agusli Taher (seniman tradisi Sumatera Barat), Kristian Tamaela (seniman tradisi Maluku), Khori Ali (seniman tradisi Sumatera Selatan), Nelwan Katuu (pengembang musik Kolintang asal Sulawesi Utara), dan Buya Han (seniman tradisi Maluku).
“Siapa sih yang nggak kenal Gombloh. Beliau itu pencipta lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang sudah dianggap sebagai lagu kebangsaan kedua setelah ‘Indonesia Raya’,” ujar Iga Mawarni yang dikenal sebagai penyanyi bernuansa jazz (jazzy) itu. Saat menentukan nominee, cerita Iga, praktis nama Gombloh langsung diterima oleh panitia Hari Musik Indonesia III.
Tak ada debat, apalagi perlawanan, karena nama Gombloh, berikut karya-karyanya memang sangat dikenal masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Ini tentu berbeda dengan sejumlah seniman tradisi yang hanya dikenal di komunitas daerah tertentu.
“Almarhum Gombloh itu sudah menjadi milik Indonesia. Jadi, bukan sekadar milik masyarakat Surabaya,” kata Iga Mawarni saat melakukan sosialisasi Hari Musik Indonesia–yang jatuh pada 9 Maret, bertepatan dengan hari lahir komponis WR Supratman–di Surabaya, awal Maret 2005.
SEBAGAI penyanyi sekaligus penulis lagu, Gombloh boleh dibilang cukup produktif. Ini dibuktikan dari delapan album yang ia rekam bersama Nirwana Record, Surabaya. Lagu-lagu karya Cak Gombloh rata-rata ‘slengekan’, spontan, ceplas-ceplos, liriknya banyak yang nakal alias urakan, tapi sangat merakyat.
“Dia benar-benar mewakili watak arek Suroboyo. Polos, apa adanya, semuanya keluar begitu saja dari hatinya. Tapi hatinya sangat baik,” kata Pardi Artin, gitaris dan salah satu teman main band almarhum Gombloh, yang tinggal di kawasan Kedungrukem, Surabaya.
Selain ‘Kebyar-Kebyar’ yang terkenal itu, lagu-lagu Gombloh yang dikenal publik musik Indonesia antara lain Kugadaikan Cintaku, Apel, Di Angan-Angan, Setengah Gila, Selamat Pagi Kotaku, Karena Iseng, Percayalah Cintaku Tetap Hangat, Gila, Semakin Gila, Sumirah, Okelah, Arjuna Cari Cinta, Hey Kamu, Berita Cuaca, Tari Kejang, Lepen, Skala, Konsumsi Cinta, Hong Wila Heng. Sebanyak 20 lagu terpopuler mendiang Gombloh ini terdokumentasi cukup rapi di album khusus berdurasi 90 menit (C-90) produksi Nirwana Record.
Dari judul-judul, apalagi lirik-lirik khasnya, rasanya sulit dipercaya kalau Gombloh masih sempat-sempatnya menulis lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang sangat heroik itu. Sebuah lagu yang nuansanya jauh berbeda dengan karya-karya lain. “Saya juga heran, kok beliau bisa membuat lagu sehebat itu,” ujar Pardi.
Sahabat akrab Gombloh ini belakangan membuat band khusus yang membawakan lagu-lagu tempo doeloe, khususnya lagu-lagu Gombloh dengan Lemon’s Tree-nya.
“Dari segi komposisi, Kebyar-Kebyar itu sebetulnya biasa saja. Tapi nuansa heroiknya itu yang sangat terasa. Kalau memainkan lagu itu, rasanya kita larut dalam semangat heroik, seperti maksud Cak Gombloh,” kata Toni Suwanto, drummer asli Surabaya, yang juga teman dekat almarhum Gombloh.
Baik Toni Suwanto, Pardi Artin, Rokhim, serta beberapa musisi sahabat dekat Gombloh mengaku tak pernah menyangka kalau lagu Kebyar-Kebyar menjadi begitu populer, apalagi dianggap sebagai ‘lagu kebangsaan’ tidak resmi. Gombloh sendiri pun tidak. Sebagai musisi kampung–begitu para seniman Surabaya ini menamakan dirinya–mereka hanya ‘mengamen’ dari kampung ke kampung, hotel ke hotel, atau panggung satu ke panggung lainnya.
Gombloh tidak punya pretensi macam-macam, selain menjadi diri sendiri. Menurut Pardi, sejak dulu Gombloh memang sudah berani tampil beda, dengan identitas dan karakter yang kuat. Rambut panjang, kacamata, topi, jaket…. Koleksi topi dan kacamata Gombloh cukup banyak kendati harganya, ya, biasa saja: khas koleksi orang kampung.
“Sederhana banget kayak kita-kita ini. Ketika namanya melambung di tanah air pun gayanya tidak berubah,” kata Rokhim, pemain bass yang pernah menemani Gombloh ‘ngamen’ dari hotel ke hotel di Bali pada awal 1970-an. Gombloh itu, kenang sehabat-sehabatnya, adalah trend setter, pencipta tren, bukan pengikut tren atau korban mode.
Gombloh, kendati sudah eksis di Kota Surabaya bersama band Lemon’s Tree, sebetulnya kurang dikenal di belantika musik nasional. Bisa dipahami karena itu tadi, karya-karya Gombloh, cenderung slengekan, sarat kritik sosial, dan itu bukan mainstream dalam industri musik pop Indonesia saat itu.
Entah dapat ilham dari mana, pada 1986 Gombloh menulis lagu Kugadaikan Cintaku. Ceritanya tentang kekecewaan seorang pemuda ketika memergoki pacarnya sedang bercumbu dengan pria lain saat apel malam Minggu. Apa boleh buat, si pria itu (Gombloh?) akhirnya ‘menggadaikan cintanya’. Lagu jenaka ini benar-benar meledak.
“Setelah Di Radio itu nama Gombloh benar-benar melambung. Rezekinya mengalir deras karena kaset Di Radio laku keras,” tutur Pardi Artun.
Toh, Gombloh tetaplah Gombloh, arek Suroboyo yang sederhana, tidak lupa daratan dengan popularitas yang melambung. Ketika ditawari hijrah ke Jakarta–agar bisa lebih terkenal lagi–Gombloh bergeming. Ia tak ingin didikte oleh cukong-cukong industri musik di Glodok, Jakarta.
“Saya kan orang Surabaya. Saya tidak boleh meninggalkan Surabaya karena saya komunitas saya di Surabaya,” ujar Gombloh seperti ditirukan teman-teman dekatnya. Maka, rekaman selanjutnya tetapia lakukan di Surabaya, tepatnya di dekat kawasan Tunjungan.
Ada yang menarik.
Ketika berproses di studio rekaman, para sahabat Gombloh dari lingkungan ‘marginal’ seperti pekerja seks di Gang Dolly dan sekitarnya ikut menyaksikan. Gombloh ibaratnya mendapat suntikan semangat dari sekian banyak PSK itu. Kenapa PSK?
“Dia dekat sekali dengan mereka. Ketika PSK dilecehkan masyarakat, dikejar-kejar, Gombloh justru menyapa mereka. Mungkin, karena itu, ketika Gombloh rekaman, gantian para PSK dari Dolly datang memberikan dukungan,” ujar Pardi Artin, serius.
Sebuah koran di Jawa Tengah mencatat sebuah adegan menarik tentang keakraban antara Gombloh dengan PSK binaannya.
“Gombloh itu manusia sangat merdeka. Pencinta rakyat kecil dan membaur dalam kehidupan mereka. Pernah honornya dibelikan ratusan BH, dibagi-bagikan di perkampungan prostitusi. Bayangkan, Gombloh naik becak dengan tumpukan keranjang BH. Dia sibuk melemparkan BH itu satu per satu ke setiap rumah prostitusi,” tulis surat kabar harian tersebut.
Seniman bernama asli SUJARWOTO ini memang murah hati. Ketika berada di puncak karier, rezeki mengalir berkat Kugadaikan Cintaku, Gombloh tidak mau melepaskan diri dari komunitas, teman-teman, serta warga kampungnya.
Ia tidak membeli rumah mewah di kawasan real estat yang mulai tumbuh di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota besar saat itu. Padahal, kalau mau, Gombloh mudah saja melakukannya. Posisi tawarnya sedang di puncak, sehingga ia bisa meminta rumah gedong, mobil mewah, serta fasilitas lain.
Yang paling berkesan bagi Pardi Artun, dan seniman-seniman Surabaya seangkatan, Gombloh senang mentraktir siapa saja yang ia temukan di kampung. Silakan makan apa saja–bakso, nasi goreng, bakmi, tahu tektek–Gombloh yang bayar. Buat Gombloh, rezeki harus dinikmati bersama, dibagi-bagi kepada teman serta sesama warga kampung.
“Sisi ini yang sulit saya lupakan dari Gombloh,” kata Pardi, tetangga dekat Gombloh saat aktif bermusik bersama di Surabaya dan sekitarnya.
Yah, Gombloh memang manusia sangat merdeka. Manajemen artis ala industri musik modern praktis tidak bisa dikenakan untuk seorang Gombloh. Dia senang bebas yang tetap berjiwa ‘wong cilik’, tak bisa keluar dari akarnya sebagai wong kampung. Bukankah Kota Surabaya ini, meminjam istilah Prof Johan Silas, tak lebih dari aglomerasi kampung-kampung? Dan itu membawa konsekuensi bagi Gombloh dan keluarganya.
Setelah Gombloh meninggal dunia pada 1988, sang seniman tak meninggalkan harta apa pun selain karya-karya musik serta kisah hidupnya yang eksentrik dan bersahaja. Lahir sebagai orang kampung, bermain musik secara otodidak bersama teman-temannya di kampung, sempat ngetop… akhirnya pergi untuk selamanya ala orang kampung.
“Dia memang seniman rakyat,” kata Pardi Artin.
Ada lagi catatan penting dari Pardi Artin. Menurut pemusik serba bisa ini, sejatinya si Gombloh tidak pernah benar-benar sehat. Tubuhnya yang kerempeng sudah dititipi penyakit macam-macam. Ditambah kebiasaan merokok yang sulit dihilangkan, fisik Gombloh setiap hari digerogoti kuman-kuman penyakit tersebut.
“Kalau bicara atau bersin, sering kali keluar darah. Dan itu sudah sangat lama,” Pardi mengenang.
Tapi Gombloh bukan tipe manusia yang mudah menyerah pada sakit-penyakit. Daya hidup yang luar biasa ini membuat Gombloh mampu memperpanjang masa baktinya di dunia. “Itu semua karena anugerah dari Allah. Sebab, kalau dipikir-pikir dengan logika biasa, melihat kondisi Gombloh seperti itu, kok dia bisa kuat? Dia main musik, menciptakan lagu, semua dalam kondisi yang tidak sehat-walafiat. Ini luar biasa,” kata Pardi dengan mata berkaca-kaca.
KOMUNITAS seniman Surabaya, dan warga Surabaya umumnya, sangat kehilangan Gombloh. Seniman sederhana yang dengan lantang, semangat, menyanyikan Kebyar-Kebyar, karyanya sendiri, di nada dasar D. Dengan kunci D, maka nada lagu ini sangat tinggi untuk masyarakat biasa, bahkan penyanyi profesional sekalipun. Orang tentu sulit melupakan almarhum Gombloh.
“Kita baru benar-benar merasakan betapa pentingnya Gombloh setelah beliau meninggal,” kata Djoko Lelono, pelukis dan penggiat seni rupa di Surabaya dan Sidoarjo. Maka, pada 1996 para seniman Surabaya secara spontan membentuk Slidaritas Seniman Surabaya.
Seniman apa saja (musik, rupa, tari, teater, tradisi) bersama-sama menggagas even untuk mengenang Gombloh di Surabaya. Ada sejumlah agenda kesenian dalam rangka menjadikan Gombloh sebagai Pahlawan Seniman Kota Surabaya. “Kita semua sepakat bahwa Gombloh itu pahlawan seniman,” ujar Djoko Lelono, yang waktu itu dipercaya sebagai Ketua Solidaritas Seniman Surabaya.
Nah, untuk mengikonkan Gombloh, Djoko (bersama Oto dan Didit) membuat patung Gombloh seberat 200 kilogram terbuat dari perunggu. “Kita garap selama enam bulan. Kita fokus benar untuk menghasilkan karya terbaik demi mengenang almarhum Gombloh,” ucap Djoko Lelono, yang lebih dikenal sebagai pelukis dan penggiat seni rupa itu.
Patung itu kemudian dipasang di halaman Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
“Sengaja di THR karena (dulu) THR itu salah satu pusat aktivitas kesenian di Kota Surabaya. Agar orang tahu bahwa Mas Gombloh itu seniman besar yang pernah dilahirkan Surabaya,” kata Djoko.
Bagi Djoko Lelono, dan para seniman Surabaya, Gombloh itu tak akan bisa hilang dari memori kolektif warga Surabaya, Jawa Timur, bahkan Indonesia. Bahkan, 100 tahun lagi pun Gombloh tetap akan dikenang oleh bangsa Indonesia. “Sebab, begitu orang mendengar atau menyanyikan lagu Kebyar-Kebyar, maka Gombloh akan hadir. Dia benar-benar pahlawan,” tegas Djoko.
Jumat, 20 Juni 2003.
Kelompok Pemusik Jalanan Surabaya, komunitas musisi rock Surabaya, serta musisi lain nyekar ke makam Gombloh di Makam Umum Tembok, Surabaya. Mereka menyanyikan dua lagu karya Gombloh yang paling terkenal: Gebyar-Gebyar dan Berita Cuaca (Lestari Alamku). Dari atas makam Gombloh itu, para musisi jalanan menobatkan Gombloh sebagai Pahlawan Musisi Jalanan Surabaya.
Menurut Yus, koordinator rock se-Surabaya, acara nyekar ke makam almarhum Gombloh oleh musisi Surabaya ini sangat mengesankan, apalagi Gombloh adalah sosok musisi idealis. “Ide-idenya pun cukup didengar. Dan kami berpikir layak untuk menjaga idealisme Gombloh dalam bermusik,” katanya.
BIODATA SINGKAT
– Nama lengkap : Sujarwoto alias Gombloh – Tempat/tanggal lahir : Jombang, 14 Juli 1948 – Meninggal dunia : Surabaya, 9 Januari 1988 – Pendidikan : SMAN 5 Surabaya, ITS jurusan arsitektur (tidak selesai) – Orang tua : Slamet dan Tatoekah – Kekerabatan : Anak ke-4 dari enam saudara (Anwar Sujono, Siti Alifah, Askur Prayitno, Sujarwoto alias Gombloh, dr Sujari, Sujarwati) – Alamat : Kebangsren I/48 Surabaya
Sejarah God Bless tidak terlepas dari perjalanan karir Achmad Albar, vokalis sekaligus pentolannya. Iyek, begitu ia sering disapa, setelah melanglang buana di Belanda dan kembali ke Indonesia, ia pun berangan-angan membentuk sebuah band. Bersama Ludwig Le mans, gitaris Clover Leaf, band Iyek ketika masih di Belanda, Iyek lalu mengajak Fuad Hassan (Drum), Donny Fattah (Bass) dan Deddy Dores (Kibord) untuk membentuk sebuah band. Tahun 1972, formasi ini mengikuti pentas musik Summer・8・semacam pentas Woodstock・ala Indonesia di Ragunan, Jakarta, yang di ikuti berbagai grup dari Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Tapi tak lama setelah itu, Deddy Dores keluar dan di gantikan Jockie Soerjoprajogo. Formasi ini pun mulai getol berlatih di kawasan puncak, Jawa Barat dan mematok nama God Bless sebagai nama grup mereka. Tanggal 5-6 Mei 1973, untuk pertama kalinya God Bless tampil di depan publik, di Taman Ismail Marzuli (TIM) Jakarta.
Tahun 1975, formasi God Bless yang paling solid yakni Achmad Albar (Iyek), Donny Fattah (Bass), Jockie Soerjoprajogo (Kibord), Teddy Sudjaja (masuk menggantikan Keenan Nasution yang sebelumnya juga menggantikan Fuad Hassan yang meninggal dunia akibat kecelakan) dan di tambah sang gitaris handal Ian antono. Meraka merampungkan Album perdana Huma diatas Bukit yang merupakan soundtrek film yang di sutradarai oleh Suman Djaya.
Tahun 1970-an, boleh dibilang adalah masa kejayaan God Bless di panggung. Diantara beberapa band Rock yang timbuh saat itu, sebut saja macam Giant Step, The Rollies dan AKA, God Bless hampir tak tertandingi. Kendati kerap mengusung reportoar asing milik Deep Purple, ELP, hingga Genesis, namun aksi panggung serta skill masing-masing porsonelnya boleh dibilang di atas rata-rata. Di tambah lagi God Bless pernah mendapat kehormatan untuk mendampingi konser Suzi Quarto dan Deep Purple di Jakarta. Namun keseringan menyayikan lagu asing, macam milik King Ping Meh, Queen, Edgar & Jhonny Winters, Deep Purple dan Genesis membuat gaya musik para personel God Bless sedikit banyak terpengaruh. Hal tersebut tergambar jelas dalam pengarapan album perdana mereka, Huma Diatas Bukit yang cukup banyak terpengaruh sound Genesis.
Menjelang pembuatan album kedua Jockie Soerjoprajogo keluar dari formasi dam memilih mengerjakan proyek album solonya serta menggarap proyek Badai Pasti Berlalu, album yang melejitkan penyanyi Chrisye. Posisi Jockie Soerjoprajogo kemudian di ambil alih oleh Abadi Soesman yang bergabung tahun 1979 dan ikut terlibat di pembuatan album kedua cermin (1980). Di album ini konsep musik God Bless sedikit berubah. Sentuhan permainan kibord Abadi Soesman yang banyak di pengaruhi unsure musik jazz dan The Beatles menjadikan ramuan aransemen lagu=;agunya terkesan lebih rumit dan membutukan skill tinggi dalam memainkannya. Tapi menurut Abadi, album yang sebagian besar materinya di rekam secara live tersebut tidak terlalu memuaskan mereka. Karena sebelum rekaman, kami sudah memainkan lagu-lagu itu selama setahun penuh, katanya suatu ketika.
Dua tahun setelah album cermin dirilis, Abadi Soesman mengundurkan diri. God Bless sendiri vakum beberapa tahun. Di tengah kevakuman God Bless, Achmad Albar banyak mengeluarkan album solo dan bekerja sama dengan beberapa musisi, sebut saja Areng Widodo, Ucok AKA Harahap, dan pernah membuat Album Dangdut (Zakia dan Laguku)
Tahun 1988, God Bless menggebrak dengan lagi lewat album Semut Hitam, yang kembali menghadirkan permainan kibord Jockie Soerjoprajogo. Di album ini lagi-lagi konsep musik God Bless berubah. Dari tadinya lebih bernuansa rock progresif secara drastis berubah menjadi sedikit lebih keras karena pengaruh musik hard rock dan heavy metal yang mengikuti zamannya waktu itu.
Secara komersil, boleh dibilang album semut hitam yang antara lain melejitkan lagu kehidupan, semut hitam dan rumah kita ini cukup sukses. Sayangnya, keberuntungan tersebut tidak di barengi oleh keharmonisan hubungan di antara personelnya serta pihak manajemen. Buntutnya, Ian Antono menyatakan hengkang dari grup yang membesarkan namanya ini. Posisinya kemudian di gantikan oleh gitaris muda berbakat dari Borneo, Eet Sjachranie yang sebelumnya sempat memperkuat bandnya Fariz RM dan grup
Cynomadeus. Ian Antono sendiri, setelah keluar dari God Bless terhitung sukses merintis karir solo sebagai pencipta lagu, arranjer dan produser. Ia berhasil melambungkan nama Ikang Fauzi, Nicky Astria dan menyegarkan karir Iwan Fals kembali lewat album Buku ini aku pinjam dan Mata Dewa.
Setelah Album Semut Hitam (1988), tidak berlama-lama lagi di tahun 1989 God Bless langsung merilis album Raksasa. Untuk kesekian kalinya konsep musik God Bless goyah lagi. Di Album Raksasa, permainan gitar Eet Sjachranie yang sangat modern sangat mempengaruhi pada perubahan musik God Bless. Selain lebih keras juga terkesan lebih bright dan serat akan sound rock yang trend di akhir tahun 1980-an. Di album ini melejit lagu Maret 89, Menjilat matahari, Raksasa yang sangt kental dengan permainan gitar Eet Sjachranie yang banyak terpengaruh musik Van Helen dan juga ACDC.
Ditahun 1991 God Bless merilis Album Story Of God Bless yang merupakan lagu-lagu lawas mereka yang dirilis ulang sebut saja lagu Huma diatas Bukit, Sesat, Musisi, Setan Tertawa, She Passad Away adalah lagu-lagu yang di arensmen ulang dan sangat lebih segar, modern. Setelah album ini grup band yang menjadi tonggak musik rock di Indonesia ini vakum dan masing-masing poersonil nya sibuk dengan proyeknya sendiri-sendiri. Sebut saja Eet Sjachranie dengan Edane nya. Jockie Soerjoprajogo dengan Kantata Takwa, Swami dan juga Suket serta melambungkan nama Mel Shandy dan Ita purnama Sari. Donny Fattah dengan Kantata Takwa juga dan melambungkan grup pendatang baru Power Metal. Teddy Sudjaja yang memproduseri dan menciptakan lagu-lagu Aggun C Sasmi. Achmad Albar sendiri dengan solo nya yang cukup sukses. Selain itu juga diawal tahun 1990-an banyak bermunculan Band-band muda berbakat sebut Slank, Power Metal, Grass Rock, Elpamas dan Kaisar. Dan ironisnya di awal tahun 1990-an itu juga muncul grup band yang merupakan duplikat dari God Bless sendiri yakni Gong 2000 di mana tiga porsonelnya Achmad Albar, Ian Antono dan Donny Fattah serta di tambah Harry Anggoman (Kibord) dan Yaya Muktio(Drum) melejit dengan lagu-lagu Rock yang bernuasa pentatonic Bali, dan ada beberapa lagu lawas God Bless yang masuk di Album Gong 2000 ini.
Selang beberapa tahun vakum yang cukup panjang, di tahun 1997, para porsonel God Bless, termasuk Eet dan Ian Antono kembali berkumpul. Workshop yang mereka gelar di kawasan puncak, Bogor menghasilkan album berjudul Apa Khabar, yang merupakan album kerinduan mereka untuk kembali berkiprah di panggung musik. Kisah selanjutnya setelah penggarapan album Apa Khabar, Eet Sjachranie resmi mengundurkan diri dari formasi God Bless dan konsentrasi untuk bandnya sendiri EDANE, yang sejak tahun 1992 sudah merilis album perdananya, The Beast.
Menjelang penggarapan album-album terbaru God Bless giliran Jockie Soerjoprajogo dan Teddy Sudjaja yang mengundurkan diri. Penggarapan album pun menjadi terlambat, sepanjang tahun 2000 hingga 2005 God Bless belum juga merilis album lagi. Sepanjang tahun 2000 hingga 2006 ini banyak nama-nama yang sempat mengisi kekosongan di tubuh God Bless di antaranya, Kembalinya Abadi Soesman, Inang Noorsaid, Iwang Noorsaid, Harri Anggoman, Yaya Muktio dan Gilang Ramadhan. Entah sekarang bagaimana khabar grup yang menjadi leganda musik rock Indonesia ini. Terakhir mereka masih manggung di acara Amild Live Soundernaline dan acara tahun baruan di Ancol dengan formasi Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah dan Gilang Ramadhan. Salut buat God Bless di usia yang tidak muda lagi mereka masih garang di atas panggung.
Bimbo adalah sebuah grup musik asal Bandung Indonesia yang didirikan sekitar tahun 1967. Personel Bimbo terdiri atas tiga bersaudara kakak beradik Sam Bimbo, Acil Bimbo, dan Jaka Bimbo. Dan dalam perkembangannya kemudian ditambah oleh adik perempuan mereka Iin Parlina. Mereka bersenandung tentang cinta. Bercanda dalam lagu, mulai soal kumis, tangan, mata, sampai calon mertua atau membuat satire sosial. Tetapi, Bimbo juga bicara tentang Tuhan lewat lagu Tuhan.
Masa Kecil
Dilahirkan di kota Kembang Bandung, anak-anak dari pasangan Raden Dajat Hardjakusumah dan Oeken Kenran. Sam si anak sulung dari kecil suka menyanyi. Hal itu diikuti oleh adik-adiknya yang juga suka ikut menyanyi. Di pertengahan 1950-an Sam dan Atjil(kemudian diubah ejaannya menjadi Acil) dulu adalah pengagum Sam Saimun, seorang penyanyi Indonesia terkenal masa itu. Menjelang akhir 1950-an lagu-lagu Elvis Presley mulai masuk ke Indonesia. Mereka yang masih remaja kala itu pun ikut terkontaminasi. Dari sebelumnya bergaya seriosa ala Pavarotti, mereka terkena pengaruh musik rock ala Elvis.
Karier
The Alulas
Pada akhir tahun 1950-an Sam dan adiknya Atjil ketika masih duduk di bangku SMA membentuk band The Alulas di Bandung. Pada tahun 1959 dengan dibantu oleh teman mereka, Jessy Wenas group ini berhasil menjadi pemenang festival band yang diadakan di Hotel Homann Bandung.
Setelah lulus SMA, pertengahan tahun 1950-an sampai 1960-an mereka mulai membangun karier bermusik secara serius. Pada tahun 1962 band mereka berubah nama menjadi Band Aneka Nada. Sam dan Atjil menjadi vocalistnya. Putera presiden RI pertama Soekarno yaitu Guntur Sukarnoputra pun bergabung, karena mereka kebetulan sama-sama kuliah di ITB. Aneka Nada anggotanya kala itu terdiri dari Sam (vocal), Atjil vocal dan gitar, Guntur Sukarnoputra (gitar), Iwan (Bass), Jessy Wenas sebagai pemain gitar dan penyanyi, Indradi (Drumer), dan Memet Slamet (vocal). Aneka Nada banyak memainkan musik berirama Amerika Latin yang berirama Cha-Cha seperti lagu Trio Los Ponchos. Sedikit-sedikit ada juga lagu Barat yang berirama rock, tetapi tidak banyak karena ada larangan musik ngak ngik ngok pada masa itu. Band ini berhasil membuat rekaman pertama berjudul Kampungku yang direkam oleh Lokananta Solo.[Lagu itu Kagu ini kemudian diputar di RRI Bandung dan kota lainnya yang membuat mereka cukup dikenal. Mereka pun sempat melakukan tur ke berbagai kota di Indonesia. Sempat pula terjadi perubahan formasi personel pada band ini dengan keluarnya Iwan dan digantikannya Indradi dengan Dodo.
Mengasuh Band Aneka Nada Yunior dan Trio Yanti Bersaudara
Di saat yang sama, Sam juga mengasuh Band Aneka Nada Yunior yang antara lain didukung adik laki-lakinya Djaka dan Iwan Abdurachman, teman sebangku Jaka di SMP. Selain itu, Sam juga melatih adik-adik perempuannya, yaitu Yani, Tina dan Iin, untuk bernyanyi dalam trio Yanti Bersaudara. Trio ini sempat populer pada paruh kedua era 1960-an dengan lagu seperti Abunawas.[2]
Aneka Nada Bubar
Ketika Yanti Bersaudara berjaya, band Aneka Nada malah bubar. Perbedaan visi di antara mereka membuat band ini tidak bisa dipertahankan. Sam dan Atjil sempat vakum untuk beberapa saat. Sementera Yessy Wenas, Guntur Soekarno, Dodo, dan Memet Slamet membentuk sebuah band baru bernama Kwartet Bintang. Band ini sempat terkenal dengan lagu-lagu band ini seperti Puteri Malu, Si Gareng, Taman Rindu, dll cukup dikenal masyarakat saat itu.[3]
Hadiah Gitar dari Trio Yanti Bersaudara
Di tengah kesuksesannya, Iin, Yani, dan Tina menggagas untuk memberi hadiah gitar kepada ketiga kakak laki-lakinya. Mereka memesan tiga gitar pada pembuat gitar terkenal di Bandung, yaitu Oen Peng Hok, di bilangan Jalan Kopo. Gitar Peng Hok itu dimaksudkan mereka sebagai pemacu semangat untuk ketiga abangnya. Sejak itu tiga bersaudara itu semakin giat berlatih. Mereka mulai berlatih memainkan lagu-lagu Latin. Akhirnya Sam dan adiknya Atjil membentuk sebuah band sendiri dengan mengajak adik laki-laki mereka Djaka (ejaan lama kemudian diubah menjadi Jaka).
Membentuk Bimbo
Trio Los Bimbos
Band Bimbo didirikan di kota Bandung oleh 3 bersaudara yaitu : Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah (Sam), Darmawan Dayat Hardjakusumah (Acil) dan Jaka Purnama Dajat Hardjakusumah (Jaka) pada tahun 1967. Saat terbentuknya Sam banyak mendapat saran dari seorang temannnya FR Pattirane, yang membukakan cakrawala mereka dalam bermusik, khususnya dalam hal harmoni.[4] Nama Bimbo sendiri diberikan oleh Hamid Gruno, Sutradara TVRI. Bermula pada tahun 1967, ketika muncul di TVRI, band ini belum ada nama. Oleh Hamid Gruno disuruh memakai saja nama Bimbo, Artinya: Bagus laah! Sebab itu mereka pun pun kemudian selalu mengidentikkan diri dengan “Bagus”. Sejak itu mereka menggunakan nama Trio Los Bimbos yang masih berbau Latin.
Trio Bimbo
Belakangan mereka mengubah nama Trio Los Bimbos ini menjadi Trio Bimbo agar lebih berkesan lokal. Pada awalnya Trio Bimbo banyak dipengaruhi Musik Latin. Menurut mereka lagu-lagu Latin itu dekat dengan tembang Sunda. Lagu Latin banyak pakai Perkusi dan tembang Sunda banyak pakai Gendang. Kedekatannya juga pada nada minor yang dominan[
Pada tahun 1969 Trio Bimbo pernah mencoba menawarkan konsep musiknya untuk direkam di perusahaan rekaman Remaco. Namun demo mereka ditolak mentah mentah oleh Remaco. Alasannya musik yang diusung Trio Bimbo yaitu pop dibasuh nuansa Latin Flamenco, agak kurang lazim di Indonesia. Meski mengecewakan namun hal itu tidak mengendorkan semangat mereka untuk terus bermain musik sembari melanjutkan pendidikan mereka yang masih berjalan.
Trio Bimbo Kontrak di Singapura
Trio Bimbo pernah dikontrak selama tiga bulan untuk bernyanyi di Ming Court Hotel di bilangan Orchard, Singapura. Di sana mereka bermain hampir tiap malam menghibur tamu-tamu hotel yang berasal dari berbagai negara maupun warga Singapura sendiri. Mendekati kontrak mereka hampir selesai, Bimbo pun waktu itu sebenarnya hampir bubar. Acil dan Jaka harus pulang menyelesaikan kuliah mereka. Sam yang memang sudah lulus dari Jurusan Seni Rupa ITB pun tak ingin sendiri berlama-lama di negeri orang. Lalu mereka pun mencoba membuat sebuah album buat kenang-kenangan. Sebelum pulang ke Indonesia, Bimbo sempat merekam album di perusahaan rekaman Polydor dengan label Fontana, Singapura, 1970.
Trio Bimbo Rekaman Album
Rekaman di Kinetex Studio itu melibatkan seniman jazz Maryono pada flute dan saksofon, serta Mulyono pada piano. Kebetulan keduanya juga dikontrak main di Singapura. Album itu memuat 12 lagu antara lain Melati dari Jayagiri dan Flamboyan gubahan Iwan Abdulrachman. Tak disangka, setelah dirilis ke pasaran album tersebut ternyata meledak. Sebuah ironi bagi grup yang pada tahun 1969 ditolak mentah mentah oleh Remaco di Indonesia, justru mendapat pengakuan di negeri jiran. Pada back cover album ini terdapat sebuah liner notes yang antara lain berbunyi : ”Menyanyi adalah media seni yang paling cepat menyentuh perasaan seseorang. Tanpa melalui kata-kata, seseorang bisa dibawa hanyut.” Dan pada kenyataannya, pendengar memang terhanyut menyimak olah vokal yang menjuntai dari Trio Bimbo ini. Kehadiran Trio Bimbo saat itu memang membuat pendengarnya seolah deja vu dengan aura ala Trio Los Panchos maupun Brother Fours. Bahkan timbre vokal Acil yang rendah, seolah kembaran dari Andy Williams yang bernuansa male golden voice.
Pada sisi A album ini, Trio Bimbo menyanyikan lagu-lagu Indonesia yang tengah ngetop saat itu seperti ”Manis Dan Sajang” karya almarhum Tonny Koeswoyo yang merupakan hits Koes Plus tahun 1969 dari album “Dheg Dheg Plas”, serta dua lagu sahabat Djaka, Iwan Abdulrachman ”Melati Dari Jayagiri” dan ”Flamboyan“. Kelak dua lagu ini menjadi semacam trademark Bimbo dalam lagu-lagu bersemburat romansa. Dua lagu ini bisa dibilang prototipe dari lagu ballada Bimbo. Jika diamati torehan liriknya, memang arat personifikasi, terasa begitu personal dan Puitik. Pada sisi B album tersebut Trio Bimbo menyanyikan sederet hits mancanegara seperti ”El Condor Pasa” dan ”Cecilia” ([[Simon & Garfunkel ), ”Light My Fire” (The Doors), ”Once There Was A Love” (Jose Feliciano) , ”Wichita Lineman” (Glenn Campbell) serta lagu ”I Have Dreamed” dari karya musik Broadway ”The King And I” karya Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II.[
Album pertama Trio Bimbo berbentuk kaset dan Piringan hitam hanya dicetak terbatas. Meski begitu merupakan pintu masuk Trio Bimbo ke belantika musik Indonesia.
Trio Bimbo Meraih Kesuksesan
Kesuksesan rilis album I itu menjadikan mereka mulai dikenal oleh pecinta musik nasional. Mereka pun kemudian bersemangat untuk meluncurkan album-album berikutnya. Perusahaan Remaco pun mengubah keputusannya. Mereka manarik Bimbo untuk bekerja sama dalam merekam dan memasarkan album-album Bimbo berikutnya. Di era tahun ’70-an, Bimbo memang identik dengan lagu-lagu balada yang cenderung berpola minor dengan lirik-lirik puitis. Hal ini menjadikan mereka unik dan disukai para penggemarnya. Prinsip mereka adalah pemusik ingin berkarya dengan bagus dan ingin diterima masyarakat. Hingga meluncurlah berbagai album secara sususl menyusul ke pasaran memenuhi keinginan para pecintanya yang seolah menantikan terbitnya album baru Bimbo. Hubungan kerja Bimbo dengan Remaco berakhir tahun 1978. Tak lama sebelum kemudian Remaco tutup. Setelah itu mereka berpindah ke studio-studio rekaman lain yang telah menanti untuk bekerja sama dengan mereka.
Bimbo
Trio Bimbo Diperkuat Iin Parlina
Di pertengahan ’70-an, Bimbo mulai diperkuat oleh Iin Parlina adik perempuan ke-7 (bungsu) mereka. Iin sebelumnya tergabung dalam kelompok Yanti Bersaudara bersama kedua kakak perempuannya Yani (anak ke-5) dan Tina (anak ke-6). Setelah Yani dan Tina menikah, Yanti Bersaudara pun bubar. Iin yang masih memiliki minat untuk benyanyi diajak bergabung dalam grup Bimbo bersama ketiga abangnya sejak 1971 hingga sekarang. Setelah menambah personelnya dengan Iin Parlina, Trio Bimbo berubah nama menjadi Bimbo. Nama Bimbo pun kerap ditulis menjadi Bimbo & Iin. Setelah bergabungnya Iin, Bimbo mulai menjamah lagu-lagu dengan tema-tema keseharian seperti Abang Becak hingga lagu-lagu yang titelnya menggunakan serial anggota tubuh seperti Kumis, Tangan, hingga Mata yang cenderung bernada humor. Memang kehadiran Iin tidak selalu terdapat dalam semua album, karena itulah oleh banyak kalangan ia kerap dianggap sebagai additional member saja dari kelompok Bimbo.
Bimbo Dengan Album Kritik Sosial dan Album Religius
Memasuki era ’80-an, Bimbo mulai bermain dengan lagu-lagu dengan tema-tema kritik sosial seperti AntaraKabul dan Beirut atau Surat untuk Reagan dan Brezhnev. Namun, di sisi lain ciri khas sebagai kelompok religius pun melekat erat.[6] Dari situ melekat pula lagu-lagu religiusnya yang mudah diterima oleh pasar. Berawal dengan lagu Tuhan karya Sam Bimbo dan berlanjut dengan album Qasidah di sekitar tahun 1974, Sajadah (1977), dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut menjadi lagu yang melegenda dan kerap dinyanyikan dalam moment-moment Hari Raya Islam oleh Bimbo maupun oleh penyanyi lain di televisi, radio, dsb. Bahkan lagu-lagu mereka sudah banyak yang dirilis ulang oleh para penyanyi lain di era ’90-an – 2000-an, misalnya kelompok Gigi (grup musik), dsb.
Bimbo Berkolaborasi Dengan Sastrawan
Dalam perjalanan kreatif, Bimbo didukung sejumlah seniman, seperti Iwan Abdulrachman yang banyak menulis lagu, seperti Melati dari Jayagiri sampai Flamboyan. Dalam perjalanan musiknya, Bimbo juga banyak menjalin kolaborasi dengan sederet sastrawan seperti Wing Kardjo dan Taufiq Ismail. Bimbo awalnya diperkenalkan oleh sastrawan Ramadhan KH kepada penyair Taufiq Ismail. Proses mengalir begitu saja, penyair Taufiq Ismail bersdeia puisinya dilagukan Bimbo, seperti Dengan Puisi, Rindu Rasul, sampai Sajadah Panjang. Mereka memberi warna tersendiri pada khazanah musik pop negeri ini lewat lagu berlirik puitis dan bernuansa religius. Sebenarnya dalam membuat lagu-lagu religi/Islami tanpa kerja sama dengan sastrawan/ulama pun Bimbo bisa. Tetapi karena lagu-lagu ini perlu kesungguhan yang lebih, maka yang dikejar adalah hasil yang lebih berbobot. Itulah sebabnya kerja sama ini dilakukan. Pada tahun 2007, Bimbo merilis sebuah album baru yang antara lain menampilkan karya terbaru Taufiq Ismail yang berpola kritik sosial yaitu Jual Beli dan Hitam Putih.
Melagukan Lingkungan Hidup
Secara secara sadar Bimbo telah lama berkomitmen dengan masalah lingkungannya. Pada saat-saat awal perjalanan Pak Emil Salim (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, saat itu) nereka telah membuat album khusus tentang masalah lingkungan, antara lain tentang Sungai Ciliwung, Harimau Jawa, Cendrawasih, tentang Kependudukan, dan sebagainya. Kekecewaan Bimbo sampai hari ini adalah pada kondisi lingkungan di Indonesia semakin rusak, telah mereka tuangkan dalam lagu mereka di masa itu.
Lagu Bimbo Dicekal Pemerintah Orde Baru
Tidak melulu cinta kasih atau dakwah, sebagian lagu-lagu mereka juga tajam mengkritik kondisi sosial politik negeri ini, seperti “Tante Sun” ciptaan Jaka yang bikin gemas penguasa Orde Baru saat itu.[4] lagu “Tante Sun” adalah awal kritik terhadap rezim Orde Baru sehingga sambutan dari masyarakat begitu baik. Lagu itu menjadi lagu Marching Band ITB dalam event nasional di Jakarta. Lagu itu kemudian dicekal rezim Orba.
Bimbo Menjadi salah satu Legenda Musik Indonesia
Bimbo adalah jalan panjang yang melegenda. Selama lebih dari 40 tahun berkarya mereka melahirkan sekitar 800 lagu dalam 200 album. Bimbo juga pernah merilis album Pop, Keroncong, Dangdut, Klasik Melayu, Pop Sunda, dan tentu saja lagu-lagu rohani yang selalu saja hadir seperti saat kembalinya Ramadhan setiap tahun.
Konser 40 Tahun Bimbo
Bimbo telah sukses mengadakan sebuah konser 40 tahun, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 2007. Saat itu pula mereka merilis album pop serta menerbitkan buku 40 tahun Bimbo.[
Profil Trio Bimbo & Iin
Sam Bimbo
Raden Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah (lahir di Kuningan, Jawa Barat, 6 Mei 1942) atau lebih dikenal dengan Sam Bimbo. Sam adalah anak pertama dari 7 bersaudara sekaligus menjadi pemimpin grup ini. Alumni ITB Seni Rupa ITB lulusan tahun 1968. Selain sebagai musisi ia juga kerap berkarya dalam disiplin ilmunya. Dalam bidang seni lukis pernah mengadakan pameran tunggal di Indonesia tahun 1970, 1992, dan 2007. Sam beristrikan Rubaah Samsudin dan dianugrahi 4 orang anak serta 4 cucu. Anaknya yang bungsu bernama Asri Dewi Lestari atau Achi SHE adalah salah satu personel grup musik wanita asal Bandung, SHE Band. Beberapa lagu ciptaannya yang terkenal seperti Tuhan (Sam Bimbo), Rindu Rasul (Sam Bimbo, Taufik Ismail) menjadi lagu yang melegenda.
Acil Bimbo
Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, SH (Acil) merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara ini lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Agustus 1943. Ia menikah dengan Ernawati dan dianugerahi 4 orang anak dan 3 cucu. Ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung 1974 dan Notariat Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1994. Selain sebagai musisi ia juga Ketua sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Bandung Spirit, yang berdiri tahun 2000, serta Pembina & Penasihat di beberapa organisasi sosial kemasyarakatan dan kebudayaan. Aktif mengadakan berbagai kegiatan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan kebudayaan di dalam dan luar negeri.[7]
Jaka Bimbo
Raden Jaka Purnama Dajat Hardjakusumah, SE. atau Jaka Bimbo (lahir di Bandung, Jawa Barat, 1 Mei 1947) adalah salah satu personel dari grup musik Bimbo yang paling pendiam. Menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1972. Jaka adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara dan beristrikan Novani Paramitha dan dianugrahi 3 orang anak. Beberapa lagu Bimbo yang diciptakan Jaka, antara lain Tante Sun, Surat Untuk Reagen dan Brezhnev, Antara Kabul dan Beirut, Citra, Sajadah Panjang, dll.
Iin Parlina
Raden Iin Parlina Hardjakusumah (lahir di Bandung, Jawa Barat, 1 November 1952) adalah salah satu-satunya personel wanita dari grup musik asal Indonesia, Bimbo. Ibu dari 4 orang anak ini adalah istri dari Ir. Syahril Anwar. Iin Parlina adalah anak bungsu (anak ke-7 dari 7 bersaudara) keluarga Hardjakusumah.
Regenerasi Bimbo
Anak-anak personil Bimbo umumnya bermusik. Beberapa di antaranya ada yang kemudian serius, namun sebagian besar tidak melanjutkannya. Salah seorang yang cukup seius di antaranya adalah anak Sam Bimbo, yang bernama Asri Dewi Lestari biasa dipanggil Achi. Dia memutuskan profesional bermusik dengan ikut mendirikan sebuah grup band SHE. Selain itu juga ada saudaranya Dea yang memilih menjadi guru Piano di Jakarta.
Penyanyi berambut gimbal ini dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1949 di Mojokerto Jawa Timur. Dilahirkan dengan nama Urip Ariyanto. Saat ini Mbah Surip berstatus duda dengan empat anak dan sekaligus juga sebagai kakek dengan empat cucu. Menurut pengakuannya Mbah Surip termasuk orang yang senang sekolah, Mbah Surip memiliki ijazah SMP, ST, SMEA, STM, Drs. sama insinyur dan MBA. Selain sebagai penyanyi, Mbah SUrip pernah merasakan pengalaman bekerja di bidang pengeboran minyak, tambang berlian, emas, dan lain-lain bahkan pernah bekerja di luar negeri seperti Kanada, Texas, Yordania dan CaliforniaNamun Merasa nasibnya kurang baik, Mbah Surip mencoba peruntungan dengan pergi ke Jakarta. Di Ibukota Jakarta, ia bergabung dengan beberapa komunitas seni seperti Teguh Karya, Aquila, Bulungan, dan Taman Ismail Marzuki. Pada suatu waktu, nasib menentukan lain. Mbah Surip mendapat kesempatan untuk rekaman dan akhirnya meraih kesuksesan seperti sekarang. Dalam perjalanan musiknya Mbah Surip telah mengeluarkan beberapa album musik. Album rekamannya dimulai dari tahun 1997 diantaranya :
Ijo Royo-royo (1997),
Indonesia I (1998),
Reformasi (1998),
Tak Gendong (2003),
Barang Baru (2004).
Namun, ternyata lagu Tak Gendong diciptakan pada tahun 1983 saat Mbah Surip masihbekerja di Amerika Serikat. Menurutnya Filosofi dari lagu ini yaitu Belajar salah itu, yang digendong ya siapa saja, entah baik, galak, nakal, atau jahat. Seperti bus, nggak peduli penumpangnya, entah itu copet, gelandangan, pekerja, ya siapa saja. Sebab, menggendong itu belajar salah. Mbah Surip tampil juga lewat video klip “Witing Trisno” karangan Tony Q Rastafara di MTV. Ciri khas dari setiap aksinya di panggung musik yaitu selalu ditemani “Gitar Kopong” nya, menyanyi dengan sangat relax dan nyanyi “ngalor-ngidul” dengan gaya-nya yang khas, kocak, gila, dan bebas ekspresi.